• RSS
  • Facebook
  • Twitter
Comments


Susan Sri Jayanti
6662091723 / Jurnalistik Kom 5e
“ penulisan tajuk”

 

Politik Dinasti Semakin Bergejolak
Banten yang dikenal dengan sebutan kota santri dan jawara kini telah beralih fungsi menjadi sarang korupsi. Tidak hanya pergeseran peran jawara yang beralih fungsi menjadi preman, semenjak dipimpin Ratu Atut Chosiyah 10 tahun ini, tercatat bahwa Banten menjadi provinsi terkorup ketiga se-Indonesia (berdasarkan data ICW 2010). Terjadinya hal tersebut tidak terlepas dari terbentuknya politik dinasti di Banten.
Sepertinya, Ratu Atut Chosiyah sangat memanfaatkan posisinya dengan sangat baik. Stategi politik yang matang telah menjadikan keluarganya menempati jabatan penting pada lembaga eksekutif, legislatif, bahkan organisasi kemasyarakatan yang ada di Banten. Diantaranya Heryani (ibu tiri) menjadi Wakil Walikota Pandeglang, Ratna Komalasari (ibu tiri) menjadi anggota  DPRD Kota Serang, Andika Hazrumi (anak) anggota DPD dan ketua ormas Taruna Tanggap Bencana (TAGANA), Ade rossi (menantu) menjadi anggota DPRD Serang, ketua KONI Serang, dan ketua Himapaud Banten, Ratu Tatu Chasanan (adik kandung) Wakil Bupati Serang & Ketua PMI Banten, Airin Rachmi (adik tiri) Walikota Tangsel, Aden Abdul Khaliq (adik ipar) Ketua KNPI Banten, dan TB Khaerul Jaman (adik tiri) sebagai Walikota Serang.
 Akibatnya, berbagai permasalahan yang ada antar satu lembaga dengan lembaga yang lainnya, tidak memerlukan jalur formal untuk menyelesaikannya, semuanya dapat selesai di meja makan. Tidak sampai disana, duduknya keluarga besar Atut pada posisi strategis, menjadikan adanya posisi tawar yang tinggi di Banten sendiri. Sehingga, ketika terjadi suatu penyimpangan jabatan, para aparatur penegak hukum di Banten menjadi lumpuh.
 Sangat rasional ketika Djoko Munandar tersandung kasus korupsi, dirinya langsung di copot dari jabatannya sebagai Gunernur. Namun, ketika Ratu Atut Chosiyah tersandung kasus korupsi dana Hibah dan Bansos, Kejati dan Polda menjadi tidak mempunyai taring dan fungsinya menjadi lumpuh. Hal tersebut telah membuktikan bahwa rezim yang mengakar serta politik keluarga dapat betul-betul menguasai Banten, dan membuat kecacatan hukum.  Padahal, dana hibah sebesar 340 milyar dan Bansos sebesar 51 Milyar, diketahui terdapat banyak kejanggalan dalam pendistribusiannya.
Seperti nominal yang besar diberikan kepada ormas yang dipimpin oleh keluarga Atut, serta diketahui banyaknya lembaga fiktif yang tidak jelas keberadaannya, tercatat mendapatkan pula aliran dana hibah. Tetapi yang menajdi pertanyaan besar adalah ketika kasus sebesar itu menajdi suatu hal yang disepelakan di meja Kejati dan Polda Banten. Sejak terbentuknya politik dinasti di Banten, bukan kesejahteraan rakyat yang meningkat, namun tingkat korupsi dan kemiskinan yang meningkat.
Maka, tidak menjadi suatu hal yang mengherankan ketika banyaknya gejolak perlawanan yang timbul, tidak hanya dari kalangan mahasiswa, elemen masyarakat seperti buruh, dan petani pun turun ke jalan. Namun, dengan fenomena kecacatan supremasi hukum di Banten, membuat gerakan - gerakan perlawanan sulit untuk mendapat pencapaian. Hal tersebut membuat rakyat Banten memiliki inisiatif yang tinggi dengan mengawal kasus korupsi Gubernur Banten sampai ke meja KPK.
Jika telah di proses KPK dan seluruh kecurigaan masyarakat Banten terbukti, hal yang pasti terjadi adalah akan ditangkap dan di adilinya Atut. Tidak sampai disana, ketika memasuki ajang Pilgub pada 22 Oktober mendatang, prediksi terburuknya adalah gagalnya Atut dalam bursa pencalonan. Dilihat dari konteks politik dinasti, ketika kasus Dana Hibah dan Bansos terungkap, maka tidak hanya atut yang dapat di jebloskan ke penjara, tapi kroni kroni keluarganya terancam akan masuk penjara juga.

















Categories:

Leave a Reply

add your comment in here