Demi Tuhan, Aku Untuk Rakyat
“bentuk perlawanan kecil dalam Al’quran yang pernah saya baca adalah, apabila suatu ketidak adilan datang, maka lawanlah dengan tangan dan anggota tubuhmu. Jika tidak mampu, maka berdoa saja, dan itu merupakan selemah – lemahnya iman seorang umat” Mahendra Seftianzah
Seperti biasa, terik matahari di Kota Serang panasnya sampai menusuk kulit, maklum, Ibukota provinsi itu terletak didekat pesisir Jawa, tempat hilir mudiknya para musafir Sumatera dan Pulau Jawa. Sengatan sang surya cukup mengganggu berbagai aktivitas manusia intelektual di Kampus itu, Untirta. Sebuah perguruan tinggi negeri ditengah – tengah gejolak politik dinasti yang dimodifikasi oleh clan Hasan Sohib.
Siang itu, tak berbeda dengan siang di hari sebelumnya, terik matahari masih sangat ceria menerangi kota Serang. Sekelompok mahasiswa berada di tengah jalan, berkoar, berteriak memekikan kata-kata perjuangan. Namun, Sang Bunda dan para pengikutnya mungkin masih bersantai di istana yang megah itu.
Pemuda – pemudi itu dengan gagah mengenakan almamater berwarna merah marun, identitas kampus tercinta. Peluh mengucur disekeliling dahi dan membanjiri wajah mereka, serta kerutan pada alis mereka menggambarkan betapa panasnya siang itu. Namun, panasnya matahari tidak sepanas hati mereka yang penuh dengan amarah terhadap kondisi sosial.
Dengan tangan kiri yang terkepal dan diarahkan ke langit, secara berulang, mereka meneriakkan “Hidup mahasiswa!”. Nyanyian – nyanyian perjuangan pun dilantunkan, bak pagelaran paduan suara, mereka melantunkan lagu secara seirama. Ditengah harmonisasi alunan nada – nada berisi kritik sosial, terlihat seorang pemuda yang tampil menonjol diantara kerumunan.
Si gondrong bercelana sobek – sobek dibagian lutut, dipadu padankan dengan sandal jepit dan kaos belelnya, mendominasi kerumunan tersebut. Dialah Mahendra sang pemimpin massa aksi, berorasi mengenai ketertimpangan hukum di Banten. wajahnya yang sangar, dan matanya yang melotot ketika memainkan retorika dihadapan toa, melukiskan betapa murkanya dia.
Terang saja ia terlihat begitu murka ketika menerima kondisi bahwa Provinsi yang Ia cintai tak kunjung sejahtera rakyatnya. Sebelas tahun provinsi ini mencoba untuk berdiri sendiri, tanpa menjadi benalu pada wilayah lainnya. Namun, sang ratu tak bisa membawa perubahan nyata yang sangat berarti, Ia malah tidur nyenyak disinggahsananya. Dan ketika ratu terbangun, dia malah sibuk melakukan konspirasi dengan raja – raja kecil hasil ciptaannya.
“bagaimana pemuda sekarang dapat maju dan cerdas ketika dikatakan biaya pendidikan nominalnya murah, namun angka kebodohan di tanah Banten masih tinggi. Pendidikan murah hanya mitos!” ucap Mahendra dalam orasinya.
Hari itu, bukanlah kali pertamanya berorasi, jika diakumulasikan pun sudah tidak terhitung lagi. Tapi ternyata, aspirasi yang disuarakan sampai urat otot di wajahnya menonjol, tidak pernah didengar sang penguasa tanah Banten. Hari itu, 28 oktober 2011, aspal pelataran pintu gerbang kampus tirtayasa, menjadi saksi bisu perjuangannya melawan tirani.
***
Mahendra duduk pada sebuah bangku panjang di pelataran parkir kampusnya. Ia memejamkan mata dan menarik nafas cukup panjang. Disusul dengan menguap lebar, kemudian, diusap butiran air pada kedua ujung matanya, menggambarkan rasa kantuk. Sepertinya, aksi sumpah pemuda yang baru saja dilaksanakan cukup menguras tenaganya.
Teringat lima tahun lalu, ketika dirinya mulai turun kejalan. Tepatnya, ditahun 2007 dirinya diperkenalkan pada berbagai realita sosial yang kemudian dia tarik pada konteks peranan mahasiswa. Namun, ternyata tidak semua mahasiswa perih hatinya ketika melihat anak kecil mengamen dijalanan akibat putus sekolah. Hatinya kembali bergetar, dia lebih merasakan pilu terhadap mahasiswa yang antisosial serta apatis.
“ketika segelintir orang memilih panas-panasan dijalan, mahasiswa yang lain enak-enakan duduk bahkan menertawakan dan mencibir, artinya realitas kepekaan mahasiswa hari ini telah berkurang.” Seperti itulah yang pernah diucapkan Mahendra kepada seorang kawannya.
“Jangankan mengadvokasi permasalahan rakyat, untuk turun kejalan saja mereka enggan.” Itulah pernyataan kekecewaannya terhadap kawan- kawan mahasiswa yang memilih menjadi apatis.
Terlintas bayangan aksi massa pada tahun 1998 yang pernah dia tonton film dokumenternya. “andai saja saat ini mahasiswa kembali pada zaman tersebut, perjuangan akan mudah ” ucapnya dalam hati.
Baginya, ketika mahasiswa telah satu suara dengan memiliki musuh bersama, bergerak secara masiv dan terstruktur, rezim penindasan akan sangat mudah untuk dihancurkan. Namun realitas yang ada berbanding terbalik dengan yang diharapannya. Aksi refleksi sumpah pemuda yang baru saja dilakukan pun, hanya diikuti oleh50 dari 12.000 jumlah keseluruhan mahasiswa Untirta yang turun kejalan.
“Allahu akbar Allahu akbar” suara adzan menggema, menyerukan saatnya berinteraksi secara diadik dengan sang khaliq. Bayangan – bayangan memudar dari lamunan Mahendra. Ia beranjak dari tempatnya duduk, berjalan tanpa gontai walaupun lelah, menghampiri masjid Syeh Nawawi El-Bantani yang berada di kampus tersebut untuk melaksanakan sholat ashar.
Selesai mensucikan dirinya, Mahendra mengisi shof. Sadar akan celananya yang sobek dibagian lutut, dia pun mengenakan sarung untuk menutup auratnya. Mahendra selalu percaya pada prinsip kolaborasi antara doa dan usaha akan menghasilkan sebuah capaian. Dia pun sadar ketika dirinya menegakan kebenaran, namun kebenaran agamanya sendiri dilupakan, maka murka Ilahi yang akan diperolehnya. Tentunya, Ia bukanlah orang yang seperti itu.
Dalam doa, dia mengadukan segala keresahan hatinya, mengenai permasalahan yang timbul di tanah kelahirannya Tidak lupa dirinya mendoakan kedua orang tuanya yang tinggal di kota dengan ikon hewan Badak bercula satu, tanah Pandeglang.
“Dalam sebuah perjuangan yang terpenting adalah cinta dan doa restu orangtua” paparnya.
Mahendra bukan ciptaan tuhan yang sempurna, dia bahkan tak selalu kuat untuk dapat menahan badai yang menerpanya. Terkadang rasa jenuh mendatanginya, namun, aktifis itu masih dapat konsisten terhadap pergerakanannya. Kuncinya, terletak pada semangat juang kawan-kawannya. Dirinya merasa malu jika harus menyerah dalam garis tegas perlawanan, dan melemah akibat rasa lelah. Karena, disana, ada sebuah tanggung jawab besar yang telah menjadi kutukan bagi mahasiswa, Tri Dharma Perguruan Tinggi.
“ saya memiliki banyak kawan yang tangguh, sangat militan dan loyal, itu menjadi lilin semangat, walaupun kecil tapi kan tidak padam.” Ucapnya meyakinkan diri.
Selesai dengan doanya, Mahendra meninggalkan tempat ibadah tersebut. Ia mengenakan kembali sandal jepitnya, berjalan dengan tiap langkah penuh rasa optimisme terhadap perjuangan melawan tirani.
Tugas Jurnalisme Sastrawi





Like This ampe merinding gue,
#cuma emang om gondrong sholat yah...?
hahahahahahahahaha