Inilah Kawanku, Sondang Hutagalung
“Para demonstran lebih senang untuk membawa poster atau membentangkan spanduk di jalan-jalan raya, ketimbang diam-diam lalu melakukan aksi "bakar diri". Bahkan ada juga orang yang menggelar demonstrasi hanya untuk mengejar kepentingan sesaat. Oleh karena itu, aksi "bakar diri" yang dilakukan Sondang Hutagalung di depan Istana Negara, benar-benar sebuah aksi yang jarang terjadi. Bukan saja resiko terburuk nya dapat kehilangan nyawa satu-satu nya, namun kegiatan bakar diri dinilai sebagai aksi yang tidak populer dalam kamus unjuk rasa di negeri ini.” www.facebook.com/demirakyat
Ditahun 2009, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras), mengadakan diskusi tentang RUU Intelijen. Di kantor Kontras, sebuah ruangan ramai dengan kehadiran para pengamat HAM dan aktivis Jakarta. Di tempat duduknya, Yandhi Deslatama menerima draf mengenai RUU Intelijen. Aktivis Komunitas Mahasiswa (KM) Raya Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta itu lantas membacanya.
Dalam diskusi pertama perihal RUU Intelijen itu, masing masing orang memberikan pernyataan sikap.
“Jika kita tarik dalam konteks HAM perihal penyadapan telpon, ini sah saja, mengingat saat ini sedang maraknya aksi terorisme.” Seorang peserta diskusi memaparkan analisisnya.
Mayoritas orang yang berada dalam forum tersebut menganggukan kepala tanda turut menyepakati, namun, sebagian yang lainnya tidak memberikan komunikasi non verbal apapun. Yandhi, masih menimbang nimbang apakah harus pro ataukah kontra terhadap pernyataan kawannnya itu. Maklum, dirinya belum mempelajari RUU tersebut lebih dalam. Si gondrong ini memutuskan untuk tidak turut berkomentar terlebih dahulu.
Ketika forum diskusi berjalan dengan dinamis, tiba tiba seseorang berdiri dari tempat duduknya.
“Kawan – kawan, BIN berada langsung dibawah kendali presiden, hawatirnya terdapat bias pada pergerakan mahasiswa karena tidak dijelaskan penyadapan dilakukan dibagian mana!” teriaknya dengan lantang.
Kemudian, dalam tiap pemaparannya, laki laki berambut pendek itu memberikan rasionalisasi yang sangat masuk akal. Argumentasi yang kuat menjadikan Yandhi pro terhadap pernyataan yang dikemukakan orang itu. Apalagi setelah melakukan perbandingan dengan argumentasi peserta diskusi yang lain.
“ternyata dia udah mempelajari RUU Intelijen ini” ujar Yandhi dalam hati.
***
Yandhi berdiri didepan kantor Kontras, udara Jakarta yang membakar ubun ubun kepala siang itu, membuat peluh terus mengalir didahinya. Dia membuka tutup botol air mineral yang dipegangnya dengan tangan kanan, berniat melepaskan dahaga. Sedangkan terdapat beberapa lembar kertas yang ia genggam pada tangan kirinya.
Lembaran kertas itu ternyata adalah draf RUU intelijen yang sengaja dibawa untuk kemudian didiskusikan kembali dengan kawan kawan KM UIN. Menurutnya, hasil diskusi yang telah dilaksanakan di kantor Kontras ini harus disemestakan kepada kawan kawannya. Yandhi melangkahkan kaki, namun, seorang laki laki yang keluar dari pintu kantor membuat dia mengurungkan niat untuk pergi dari tempat itu.
“Eh bang” sapa laki laki itu seraya menjulurkan tangan.
“Eh iya” jawab Yandhi sambil menyambut uluran tangan yang telah disodorkan. Mereka pun saling berjabat tangan.
“Saya Sondang bang, mahasiswa mana bang?” tanya dia sekaligus mengawali perkenalan.
“Yandhi, dari UIN. Jangan panggil bang, bung aja. Papar Yandhi seraya memperkenalkan diri juga. Yandhi melanjutkan “kau mahasiswa mana bung?”
“Saya dari UBK bung, aktif di Hammurabi. Sendirinya gimana?” Tanya Sondang.
“Saya sekarang aktif di KM Raya Uin.” Jawab Yandhi.
Begitulah perbincangan keduanya, masih sekedar obrolan ringan mengenai latar belakang dan identitas masing masing personal. Tidak terlalu formal, namun keduanya memiliki ketertarikan yang sama terhadap pengetahuan sejarah organisas gerakan yang mereka geluti.
Itulah kali pertama Yandhi berkenalan dengan Sondang Hutagalung. Sosok kelahiran Medan itu lantas menjadi partner diskusi tiap kali keduanya berkesempatan bertemu. Kantor Kontras, seakan menjadi mediator atas setiap pertemuan mereka.
***
Suatu hari, Yandhi datang ke acara penutupan sekolah HAM dari Kontras. Dia berangkat bersama beberapa kawannya dari organisasi gerakan KM UIN. Di tempat itu, telah ada band Efek Rumah Kaca sebagai pengisi acara. Para peserta yang datang pun menikmati tiap alunan melodi yang dilantunkan Band tersebut, begitu pula dengan Yandhi.
Ketika sedang terbuai dengan euphoria kemeriahan acara, sebuah tangan mendarat dibahunya.
“Bung, gimana kabar?” Ternyata Sondang yang dengan tiba tiba muncul dalam keramaian.
“Wah baik. Lu sendiri gimana?” Jawab Yandhi.
“Baik juga bung. Gimana nih pasca lebaran mau bikin gerakan apa bung?” Tanya Sondang kembali.
“RUU intelijen harus tetep dikawal, jangan sampe di sahin.” Papar Yandhi.
Sondang pun segera merespon “Iya bung, gue sepakat banget, juga geraka kita jangan cuma dijakarta aja. Kalau sampai di sahin, ini kan sama aja pemberedelan terhadap gerakan mahasiswa.” Terangnya.
Keduanya terus berdiskusi, sama sekali tidak terganggu oleh keramaian dan hiruk pikuk orang orang yang menikmati musik. Terlepas dari obrolan tersebut, tiba tiba Sondang mencurahkan isi hati tentang keluhannya.
“Gila, sekarang gerakan mahasiswa susah banget jadi satu, terlalu banyak faksi.” Ujarnya, Yandhi melihat ada gurat kegundahan diwajah Sondang. Namun suara Sondang tetap tegar.
“Menyatukan organisasi gak pernah bisa. Dan sekarang, gerakan di Jakarta banyak kepentingan, banyak yang bermain.” Papar Sondang sambil menggelengkan kepala.
Meskipun tidak secara gamblang diucapkan, namun, sebagai anak gerakan, Yandhi paham betul apa yang dikeluhkan rekannya tersebut. Seperti yang dipaparkan Sondang, di Jakarta sendiri terlampau banyak aksi mahasiswa yang dipolitisasi. Sudah tidak menjadi barang yang baru jika terdapat temuan aksi demonstrasi yang ditunggangi kepentingan parpol.
“Bung, gue pergi dulu. Kalo ada konsolidasi, kabarin gue ya.” Pinta Sondang mengakhiri percakapannya.
“Oke oke.” Jawab Yandhi singkat. Seperti biasa, setiap kali bertemu dan berpisah, keduanya saling berjabat tangan, simbol persaudaraan.
***
Dipenghujung tahun 2012, Indonesia digegerkan dengan adanya aksi bakar diri. Sebuah aksi frontal di depan gedung megah Istana Negara tersebut seketika menyedot perhatian masyarakat. Pemberitaan pertamanya yang muncul ditelevisi, menghadirkan tanda tanya besar, siapa orang tersebut, dan apa motif dari aksi nekatnya itu.
Pemberitaan diatas hampir serupa pada berbagai media massa, baik cetak, elektronik, maupun online. Yandhi yang melihat pemberitaan tersebut dari televise, tiba tiba memiliki prasangka negative. Tiba tiba muncul keyakinan bahwa orang yang melakukan aksi tersebut adalah salah satu teman gerakannya.
Tidak lama setelah penayangan berita tersebut diberbagai televisi, sampailah kabar ketelinga Yandhi bahwa orang yang melakukan aksi bakar diri itu adalah Sondang Hutagalung.
“Innalilahi wa inna ilaihi rojiun” Yandhi membatin.
Saat itu, hatinya benar benar terpukul mengetahui kenyataan tersebut, apalagi sudah cukup lama dirinya tidak bertemu dengan Sondang.
Dihari meninggalnya Sondang, sore hari pukul 17.00 wib, Yandhi yang mendapat kabar tersebut dari rekannya melalui telpon, langsung mensemestakannya kepada kawan kawan KM UIN di base camp. Setelah meberikan informasi kepada kawan kawan gerakan yang lain, Yandhi bergegas ke rumah sakit tempat Sondang dirawat.
Yandhi pergi dengan Ncek, kawan dari KM UIN, dilajunya motor dengan kecepatan tinggi. Sehingga, tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai ke RS. Keadaan disana sangat ramai, terdapat orang tua Sondang yang menangis histeris, serta wajah duka dari kawan kawan gerakan.
Terdapat pula banyak insan pers, aktivis senior, sampai tokoh Nasional yang menjadi oposisi pemerintah turut mengucapkan bela sungkawa. Hari itu tercatat sejarah baru di Indonesia tentang aksi bakar diri seorang aktivis muda.
Dalam benak Yandhi, dirinya berfikir tidak sampai sejauh itu yang akan dilakukan Sondang. Menurutnya, aksi paling tinggi adalah aksi yang menyakiti diri pribadi, walaupun motif dari almarhum Sondang sendiri belum diketahuinya pasti. Namun dalam penafsirannya, karena dilakukan didepan Instana Negara, menjadi bentuk ungkapan perjuangan masyarakat yang menganggap pemerintah telah buta.
“semoga saudaraku Sondang tidak mati sia sia. Dengan adanya aksi bakar diri ini dapat memanaskan kembali eskalasi gerakan di Jakarta.” Ujarnya dalam hati.
***





