MENELUSURI JEJAK SI MERAH
Oleh ; Susan Sri Jayanti (dalam tugas penulisan Feature)
Pernahkah anda melihat si merah yang terparkir sekitas kampus Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta)? Ya, Mahasiswa Untirta pasti tidak asing lagi dengan konotasi ‘si merah’. Terlebih lagi, keberadaannya di kampus sangat membantu para mahasiswa, dalam pelaksanaan bidang akademik maupun non akademik.
Oleh : Susan Sri Jayanti
| S |
i merah adalah sebutan untuk bis kampus Untirta yang berwarna merah. Bis tersebut merupakan kendaraan operasional yang diperuntukan bagi kegiatan para mahasiswa, seperti kunjungan, kegiatan organisasi, sampai acara non formal seperti jalan-jalan. Di kampus Untirta, terdapat tiga kendaraan yang diperuntukan bagi keperluan mahasiswa.
Terdapat sebuah mobil Carry berwarna putih yang pada bagian luarnya terdapat identitas kampus berupa logo. Mobil Carry tersebut dapat menampung sekitar 10 orang, untuk kegiatan mahasiswa, bisa dipinjam tanpa menggunakan jasa supir kampus. Kemudian terdapat dua bis yang berbeda warna yaitu bis merah, dan bis putih, kuotanya sebanyak 30 mahasiswa.
Berbeda dengan mobil Carry, dalam penggunaannya, bis tersebut harus disertai supir kampus. Untuk prosedur peminjaman kendaraan operasional tersebut, ketiganya sama-sama harus melalui jalur Badan Administrasi Urusan Kemahasiswaan (BAUK), dengan menyerahkan surat permohonan peminjaman kendaraan, disertai dengan keterangan penggunaan kendaraan tersebut.
Baik bis merah maupun bis kuning, keduanya mempunyai sopir tersendiri. Keistimewaan bis merah adalah dirinya yang melegenda, bersama sopir yang selalu mengendarainya. Bis merah merupakan kendaraan operasional yang umurnya paling tua, begitu pula dengan sopir yang mengendarainya, merupakan sopir tertua yang ada di Untirta, Dia adalah Mang Nur.
Mang Nur adalah orang yang paling dekat dengan si merah, tentu saja, karena laki-laki berusia 45 tahun ini memang dikhususkan berdampingan dengan si merah. Keberadaan si merah ialah pada tahun 2000, sedangkan mang Nur sendiri telah bekerja sebagai sopir Untirta sejak tahun 1990, jauh sebelum adanya bis merah tersebut.
Bisa dikatakan, mang Nur lah orang paling mengetahui sejarah Untirta. Dia bekerja sejak kampus Untirta belum beralamatkan di Jl. Raya Jakarta Km.4 Pakupatan Serang-Banten. Dahulu, kampus Untirta berada di Pendopo, kemudian, pada tahun 1982, Untirta pindah lokasi.
Di usia si merah yang menginjak 11 tahun, tampilan fisiknya begitu semrawut. Dinding dindingnya penyok, kaca bagian depan pecah, dan karat pada hampir seluruh tubuhnya. Tentu saja, orang yang paling bertanggungjawab akan si merah adalah mang Nur. Bapak 3 anak ini bercerita tentang dirinya dan si merah yang sampai membuat keadaan si merah tidaklah secantik saat pertama kali bis itu ada di Untirta.
Dahulu, mang Nur adalah sopir yang melayani kepergian Rektor dan pejabat kampus. Sejak datangnya si merah, dia lantas menjadi sopir spesialis kendaraan itu, petualangannya pun dimulai. “saya ini spesialis untuk bus, saya gak lagi menyopiri pejabat kampus, karena saya sendiri gak mau, saya lebih suka jasa saya dipakai untuk kegiatan mahasiswa”, papar mang Nur.
Laki-laki tamatan ST Lontar Serang itu banyak menerima job untuk berbagai kegiatan mahasiswa, mulai dari ke kota besar sampai ke pelosok. Berbagai pengalaman suka duka pun dia alami. Kaca depan bis yang pecah, diceritakan akibat terkena batu yang terpental dari sebuah kendaraan yang berada di depan si merah yang melaju kencang.
“kalau tidak salah, waktu itu saya membawa rombongan dosen dan dekan, tapi saya lupa hari kejadiannya” seperti itulah keterangan mang Nur.
Kemudian, ketika ditanya dinding bis yang penyok penyok, dia mengaku, hal tersebut dikarenakan kondisi jalan dan alam yang membuatnya menjadi seperti itu. Percaya atau tidak, si merah tidak selalu menginjak jalan aspal yang mulus, dia juga masuk kedalam hutan, menyebrangi sungai, melewati jembatan kayu, dan berbagai jalanan yang tidak layak dilalui kendaraan.
Tidak hanya itu, mang Nur juga pernah mengalami kecelakaan. “ kalau jalan ke hutan kadang suka celaka, nabrak pohon, apalagi kalau malam kan gelap, jadi jalannya gak keliatan.” Dia juga menambahkan “ pernah waktu itu ke Baduy, gak kuat nanjak bisnya, pernah juga bisnya nyempil ke solokan, jadi bempernya jebol.”
Untuk semua perbuatannya itu, mang Nur mengaku tidak pernah dimarahi oleh pihak rektorat, mungkin hal tersebut dikarenakan perawatan dari bis merah yang diserahkan padanya. Berbagai kerusakan, perbaikan, dan hal yang berurusan dengan bis, merupakan tanggungjawab laki-laki paruh baya itu sepenuhnya, dia hanya sebatas melaporkan kepada bagian BAUK, kemudian mendapat pendanaan untuk melakukan perbaikan.
Tidak hanya perjalanan yang ekstrem, laki-laki yang masa kecilnya bersekolah di SDN 4 PU itu juga bercerita tentang pengalamannya dengan dunia ghaib. Pernah suatu hari mang Nur mengantarkan rombongan Mahasiswa Penjelajah Alam Untirta (Mapalaut) ke Ujungkulon, selesai mengantarkan, dia harus kembali ke kampus dengan seorang diri.
Di perjalanan, ketika dia melihat spion yang berada di atas kepalanya, dia melihat sesosok wanita berbaju putih dan berambut panjang sedang duduk di tengah – tengah bangku penumpang. Dengan pemandangan yang menakutkan itu, mang Nur menambah laju kecepatan dan membaca ayat-ayat Al-Quran sebisanya. “saya takut banget, saya ngebut sambil baca-baca,” ujarnya.
Mang Nur juga mengakui kejadian tersebut tidak hanya dialaminya sekali dua kali tapi sampai beberapa kali, “tapi hantu itu gak sampe ikut ke kampus, kalau saya di tikungan sama bawa mobilnya pelan-pelan, nanti dia turun, pintu bisnya suka kebuka sendiri, masuknya gak pernah ketauan, tau-tau ada didalam, tapi kalo turunnya selalu ketahuan.” tambahnya.
Dengan berbagai kejadian tadi, membuat mang Nur merasa kesepian saat harus menegndarai bis, dan berharap dirinya mempunyai seorang kenek yang mendampinginya. “saya kan kalau abis nganterin sendirian, gak kayak berangkatnya rame sama mahasiswa, saya suka kesepian, pengennya sih punya kenek biar ada yang nemenin.” Seperti itulah harapan seorang supir bis kampus.
Ternyata tidak adanya kenek yang mendampingi, merupakan faktor penyebab kelakaan. Baginya, berpatok saja pada kaca spion tidak menjadi jaminan keselamatan, harus ada seorang kenek yang mengarahkan jalan, dan memberitahu kondisi arah depan, belakang, dan samping jalan.
Mang Nur dan si merah sangat dekat dengan mahasiswa karena keduanya menjadi penunjang keberlangsungan berbagai kegiatan mereka. Salah seorang mahasiswa, Sylvia Septiningrum (20), yang cukup mengenal keduanya, bercerita tentang pengalamannya ketika menaiki bis merah.
Pada tahun 2008 sepulang kegiatan organisasi di Bukit Pasau-Anyer, kondisi alam saat itu sangat gelap dan hujan besar, saat itu, kaca pintu belakang bolong dan menyebabkan air hujan masuk kedalam bus, akibatnya orang-orang yang berada di bagian belakang termasuk sylvia basah kuyup, dan, sepanjang perjalanan mereka harus menghalangi air hujan yang masuk itu dengan sebuah bendera.
Mahasiswi jurusan komunikasi ini juga mengeluhkan tentang keadaan si merah, juga keluhannya terhadap sang sopir. Dia menyatakan, bahwa mang Nur selalu ngebut jika membawa bis merah, sehingga, dia merasa bahwa julukan bis merah sangat cocok karena bis tersebut mirip dengan bis murni (bis jurusan Kalideres-labuan) yang terkenal dengan ngebutnya.
Gadis berkawat gigi ini juga menyatakan keprihatinannya terhadap si merah yang kondisi fisiknya cukup mengenaskan itu, “ bis merah sering turun mesin gara-gara gak pernah perawatan, kalo buat perjalanan jauh kan resiko, di bis merah juga gak ada Acnya, gak kaya bis kuning, bagus.” ucapnya.
Memang, sebuah kendaraan operasional di tingkatan Universitas menjadi identitas dari Universitasnya itu sendiri, tampilan fisik secara tidak langsung menjadi sarana pencitraan, “cetnya udah ngelupas-ngelupas, kalo keluar kampus kan malu, gak ada imejnya di kampus laen.” Tambah gadis yang sudah memasuki semester enam ini.
Walaupun demikian, Sylvia ini tetap simpati terhadap mang Nur karena sifatnya yang ramah terhadap mahasiswa. Dengan hal-hal yang tidak mengenakkan tadi, Sylvia selaku mahasiswa dan pemakai jasa bis kampus menuturkan harapannya agar bis tersebut berganti warna dan disesuaikan dengan warna almamater seperti pada kampus lain.
Selain itu, fasilitas juga sangat penting untuk kenyamanan, seperti AC. “kalo bisa bisnya ganti jadi bis yang kapasitasnya bisa nampung 60orang” papar Sylvia. Ya memang, mengingat kagiatan mahasiswa yang cukup padat di kampus Untirta membuat kendaraan operasional bukan hanya perlu dipercantik tampilan luarnya, tapi juga dibenahi secara keseluruhan.
Si merah sudah 5 bulan menghilang dari parkiran kampus dan menjadi pertanyaan banyak orang. Selama itu pula mang Nur beralih dari bis merah ke mobil Carry putih. Ternyata, selama ini si merah sedang berada di bengkel dan menjalani proses perawatan, Bila Sudah sembuh, si merah akan kembali ke kampus, dengan penampilan baru dan kondisi yang sehat, sehingga, dapat menunjukan kembali taringnya dijalanan lalu lintas.




