• RSS
  • Facebook
  • Twitter
Comments


Kampus Bisa di Materialisasikan
Oleh : Susan Sri Jayanti
Adanya halaman terbuka menjadi peluang bisnis yang cukup menjanjikan, bila kita mampu mengubahnya menjadi suatu hal yang lebih bermanfaat.  Ya, lahan parkir telah menjadi tempat mengais rejeki untuk sebagian orang yang memanfaatkannya. Terdapatnya peraturan wajib bayar pada lahan parkir memang sudah menjadi hal yang biasa. Hampir di semua tempat umum yang memiliki lahan parkir telah dikenakan biaya wajib pada para pengguna kendaraan sepeda motor dan mobil. Namun apa jadinya bila lahan parkir di sebuah lembaga Universitas terdapat aturan wajib bayar?

H
al tersebut yang beberapa waktu menjadi isue hangat pada Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Serang, Banten. adanya wacana parkir berbayar pada Universitas tersebut, menjadikan timbulnya gejolak-gejolak perlawanan dari para mahasiswanya. Memang, parkir dengan wajib bayar  sudah diterapkan pada beberapa Universitas di Indonesia. Namun adanya peraturan baru perihal penerapan biaya parkir di kampus Untirta, sepertinya bukan hal yang biasa.
Mahasiswa yang mengkaji wacana tersebut secara lebih mendalam, mendapat suatu kesimpulan yang menyatakan bahwa parkir berbayar sangat memberatkan mahasiswa. Adanya kajian yang mendalam mengenai parkir berbayar,  selanjutnya menjadi boomerang bagi pihak pengelola selaku perencana. Para pengelola dengan segala upaya sosialisasi mencoba menarik dukungan para mahasiswa, namun,  upaya tersebut sepertinya nihil.
Pasca audiensi yang dilakukan pihak pengelola dengan mahasiswa, banyak timbul letupan pergerakan dengan mengangkat isue tolak parkir berbayar. Pasalnya, Memang nominal yang diterapkan hanya sebatas seribu rupiah, namun apabila dikalkulasikan permahasiswa sampai pertahun, hal tersebut sangat memberatkan mahasiswa. Tetapi, rupanya keluhan mahasiswa yang disuarakan melalui forum audiensi tidak lantas dipertimbangkan dengan matang kembali oleh pihak pengelola.
Sebulan setelah audienci ketiga, pihak pengelola tetap meneruskan rencana parkir berbayar. Terbukti dari simulasi yang dilakukan pihak pengelola dengan mulai diaturnya posisi penempatan motor, tidak diberikannya kartu parkir, dan penempatan box operator biaya parkir di depan kampus. Hak tersebut yang lantas menjadi kekecewaan mahasiswa, khususnya mahasiswa yang mengikuti proses audiensi dari mulai pertemuan pertama sampai ketiga.
Muhammad Dace A (23) adalah Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FISIP, Untirta, merupakan salah satu mahasiswa yang mengikuti proses audiensi. Dari 3 kali audiensi, dirinya mengaku hanya mengikuti audiensi ketiga. Itu pun dikarenakan tidak sampainya surat undangan kepada dirinya. Laki-laki bermata cokelat ini juga mengatakan, mengetahui adanya audiensi setelah bukan melalui surat undangan, karena memang tidak ada surat resmi yang masuk ke BEM FISIP.
            “Gak ada surat pemberitahuan, Cuma spanduk di depan kampus.” paparnya. Hal tersebutlah yang dimungkinkan ngaretnya jalan acara & sedikitnya peserta audiensi yang hadir. Peserta audiensi sendiri adalah para ketua organisasi mahasiswa (ormawa) internal, pihak pengelola & satpam Kampus. Isi dari audiensi itu sendiri adalah membahas parkiran berbayar, beserta sosialisasi & pemberitahuan konsep parkir.
Didalam jalannya audiensi banyak timbul ketidaksepakatan dari para audiensi, juga banyaknya pertanyaan-pertanyaan mengenai efisiensi parkir berbayar juga jaminan asuransi. Tetapi banyak pertanyaan peserta yang tidak mendapatkan jawaban, laki-laki asli Serang itu mengaku, pihak pengelola tidak memberi jawaban yang tepat. “semakin banyak yang protes, semakin diakhiri, belum ada kesepakatan iya atau tidak.” Ujarnya.
Ketika belum adanya pengambilan keputusan oleh pihak pengelola mengenai jadi atau tidaknya wacana parkir berbayar, satu bulan kemudian,  mahasiswa dikagetkan oleh langsung diadakannya simulasi parkir berbayar. Hal tersebutlah yang menjadi kekecewaan mahasiswa semester 10 ini juga oleh para mahasiswa lain. Sehingga, timbullah aksi dengan grand isue ‘tolak parkir berbayar’.
Aksi yang terdiri dari Keluarga Besar Mahasiswa (KBM) Untirta ini menolak adanya wacana parkir berbayar dengan berbagai rasionalisasi kerugian yang diterima mahasiswa. Aksi sendiri terjadi dua kali dengan sasaran utama pihak pengelola & rektorat. Dari pihak rektorat sendiri memberi tanggapan bahwa permasalahan tersebut akan di usulkan di rapat Senat.
Kontra Para Mahasiswa
Tidak hanya Dace yang mengeluhkan perihal parkir berbayar, adalah Gagah Kharisma Purbaya (21) sangat menolak wacana tersebut. Dirinya mengaku, sebagai pengguna kendaraan sepeda motor, cukup dirugikan bila wacana tersebut sampai terealisasi. Sebelumnya, mahasiswa yang bekerja Free Lance di M Donald Cilegon ini mengira, sistem parkir bayar akan serupa seperti di Kampus Untirta Cilegon.
Pasalnya, di Kampus Untirta Cilegon, parkir berbayar hanya diterapkan bagi pengendara sepeda motor yang tidak terdapat stiker parkir di badan motor. Stiker sendiri dibeli mahasiswa pada awal perkuliahan seharga 15 ribu rupiah, dengan ketentuan berlaku seumur hidup. Sehingga, dapat dibedakan antara masyarakat asli kampus & orang yang bukan berasal dari kampus tersebut.
Menurut Gagah, bila parkir ingin dikelola dengan tujuan ketertiban, itu hal yang syah saja, namun, baiknya tidak lagi membebankan mahasiswa. Laki-laki yang pernah aktif di Himpunan Mahasiswa Komunikasi (Himakom) ini juga menyatakan kekecewaannya terhadap inisiatif yang dimatrielisasikan. Karena selama ini tidak diberlakukannya penertiban terhadap parkiran, ketika diwacanakan parkir tidak lagi gratis, barulah ditertibkan.
“Kemaren waktu mau ada baru dirapihin.” ujarnya. Mahasiswa Komunikasi yang mempunyai hobi touring ini menyatakan harapannya mengenai pembenahan lahan parkir tanpa memungut kembali biaya pada mahasiswa. Mengingat, mahasiswa kampus Untirta mayoritas berkendara sepeda motor. Sehingga, terdapat kekhawatiran bahwa uang yang dipungut melalui parkir, hanya masuk ke kantong satpam & pihak pengelola tanpa feedback pada mahasiswanya.
Ternyata, tidak hanya mahasiswa berkendara yang kontra terhadap wacana parkir tersebut, mahasiswa non berkendaraan pun tidak menyetujui rencana itu. Dea Lintan (18), mahasiswa Hukum Untirta, juga turut memberi tanggapan. Wanita berjilbab ini menyatakan, bila tujuannya untuk penertiban, tidak menjadi masalah, namun sama seperti sebelumnya, masalah ada pada pembebanan biaya kepada mahasiswa. Menurutnya, fasilitas yang diterima mahasiswa sudah menjadi tanggungjawab pihak kampus.
Meskipun tidak memiliki kendaraan, mahasiswi yang aktif di organisasi gerakan ini ternyata memiliki kepedulian yang cukup besar terhadap wacana tersebut. Baginya, wacana tersebut seperti tidak dipertimbangkan dengan matang sehingga terdapat banyak kontra dari mahasiswa. “ ribet aja kalo bayar gitu, tukang ojek jadi gak boleh kedalem.” paparnya.

Pihak Yang Pro Parkir Berbayar
Kontra yang banyak meletup dari kalangan mahasiswa, ternyata berbeda dengan satpam kampus. Menurut Panji (46) selaku satpam Untirta, parkir berbayar akan banyak memberi dampak positif. Selain kerapihan tata letak kendaraan, keamanan juga menjadi indikator nomer 1 dalam wacana tersebut, karena akan dibuatnya asuransi. Hal tersebut juga dapat bermanfaat, baik untuk mahasiswa maupun bagi para satpam.
Pasalnya, pekerjaan satpam kampus akan lebih ringan dengan adanya karyawan yang memang dikhususkan mengelola parkir. Karena selama ini, tugas satpam yang seharusnya fokus dengan keamanan wilayah kampus menjadi bias dengan tugas memberi kartu parkir pada kendaraan yang keluar masuk kampus. Mereka mengeluhkan pekerjaan yang demikian layaknya tukang parkir.
“Tugas satpam keamanan, tidak seperti sekarang, berhubung begini adanya karena kami butuh uang.” ujar Panji saat ditemui di pos satpam.  Laki-laki yang telah berprofesi sebagai satpam selama 15 tahun ini juga menganalisis, latar belakang adanya wacana tersebut adalah karena jumlah kendaraan yang semakin banyak. Sehingga perlu adanya pengelolaan lebih lanjut guna kerapihan kampus Untirta.
Pernyataan sikap setuju ini pula didasari oleh rasa prihatin terhadap mahasiswa yang mengalami kehilangan helm atau motor. Karena bagi laki-laki yang telah berkeluarga ini, ketika mahasiswa mengalami apes, tidak mungkin satpam dapat bertanggungjawab 100%.  Bapak 3 anak ini juga menyampaikan harapan, supaya kedepannya ada yang menangani hal seperti ini. Bukan hanya supaya lebih tertib & aman, juga pekerjaan satpam lebih ringan, sehingga adanya kenyamanan dalam bekerja.



Categories:

Leave a Reply

add your comment in here